“I ordered the Colonial Steak: 180g of local tenderloin served with long beans and french fries. At @ Rp 49,500,- per serving, it is a filling lunch =).” Ini adalah komentar di laman Foursquare bertanggal 10 Oktober 2010 terhadap Calvados. Sebuah resto yang ketika itu selalu ramai dipadati tamu.
“It is always crowded and the place is really good. Best Lagsana in town *childhood memmories*.” Ini adalah sebagian dari komentar-komentar positif terhadap resto berlokasi di Jl. Raya Kertajaya Indah nomor 100. Persis di sudut timur-selatan perempatan lampu lalu lintas. Lokasi yang sangat strategis di kawasan perumahan mewah pertama di kota Surabaya. Hanya beberapa menit ke arah barat dari bundaran ITS.
“My fave restaurant.. Tapi sudah tutup 😦 semoga balik lagi… ” Ini adalah komentar tertanggal 4 September 2014. Saya copy and paste langsung dari laman Foursquare apa adanya. Menarik untuk diambil pelajaran. Bahwa Calvados selalu ramai dipadati pengunjung kemudian tutup.
Saya menjadi saksi hidup ramainya Calvados. Mengapa? Karena Jl. Kertajaya Indah adalah jalan utama akses dari rumah saya untuk menuju pusat kota. Jadi bisa dikatakan tiap hari saya lewat di depan resto itu. Bahkan sehari bisa beberapa kali.
Dalam kondisi resto ramai pengunjung dan bahkan penuh sesak Calvados membuat keputusan sangat penting. Ia berpindah ke gedung persis di sampingnya. Tepatnya di Jl. Kertajaya Indah nomor 104-106. Gedung itu memang lebih besar. Ukurannya sekitar dua kali ukuran gedung yang ditinggalkan Calvados. Dari nomornya juga menunjukkan bahwa asalnya 2 kapling.

Apa yang terjadi setelah pindah? Resto menjadi sepi. Tidak terlihat lagi kepadatan tamu. Tempat parkir yang lebih luas dari pada lokasi sebelumnya juga selalu tampak kosong melompong.
Apakah manajemen tinggal diam? Saya tidak memiliki informasi tentang ini. Tapi coba bayangkan jika Anda adalah pengelola Calvados. Tentu Anda akan melakukan upaya maksimal untuk kembali mendatangkan pelanggan yang sebelumnya terus memadati restoran. Berbagai promo dilakukan. Kawan, relasi dan pelanggan yang ada kontaknya dihubungi kembali. Pendek kata….akan berjuang mati-matian.
Tapi pasar berkata lain. Semua upaya manajemen tidak mampu mengembalikan pelanggan. Catatan laman Foursquare menunjukkan bahwa tahun 2014 resto itu telah tutup. Undur diri dari pasar. Mati.
&&&
Paling tidak ada tiga pelajaran dari tutupnya resto ramai Calvados setelah pindah ke gedung sebelah. Pelajaran pertama adalah bahwa variabel dalam dunia bisnis itu sangat banyak. Tak terhingga. Untuk sebuah gerai resto contoh variabelnya adalah jumlah mobil yang lewat di depan gerai tiap satuan waktu, jumlah motor yang lewat tiap satuan waktu, jumlah penduduk dalam radius tertentu dari gerai, luasan bangunan gerai, kenyamanan lokasi, luasan tempat parkir, jumlah menu, harga menu, cita rasa menu, dan masih banyak lagi. Tiap variabel memiliki skor atau value tertentu.
Resto akan sukses jika variabel-variabel yang ada cocok dengan pasar. Nah, saat Calvados berada di Kertajaya Indah nomor 100, skor dari variabel yang ada cocok dengan pasar. Begitu pindah, konsumen hilang. Artinya, konsumen menjadi tidak cocok dengan variabel dan skor Calvados di lokasi baru. Walau lokasinya persis di sebelah.
Penjelasannya, tiap orang memiliki preferensi terhadap variabel tertentu dengan skornya. Orang akan menjadi pelanggan jika variabel dan skor yang menjadi preferensinya terpenuhi. Orang tidak akan menjadi pelanggan jika variabel dan skornya tidak memenuhi preferensinya.
Pelajaran kedua, mestinya Calvados tidak pindah. Tetap bertahan dengan lokasi di Jl. Kertajaya Indah nomor 100. Masalah yang ada yaitu kepadatan pengunjung tidak boleh diselesaikan dengan cara berpindah lokasi. Manajemen tidak mungkin tahu seluruh variabel yang menyebabkan resto laris. Lokasi baru tentu saja berbeda skor dalam banyak variabel dengan lokasi lama.
Lalu bagaimana menyelesaikan sesaknya tamu yang memicu kekecewaan? Perusahaan harus melakukan apa yang disebut sebagai demarketing. Pengunjung harus dikurangi. Omzet harus diturunan. Caranya adalah dengan segera mendirikan gerai baru tidak jauh dari gerai yang ada. Konsep, menu dan segala sesuatunya dibuat semaksimal mungkin sama dengan gerai pertama.
Setelah gerai kedua buka, begitu ada tamu mau masuk diberitahu bahwa resto sedang penuh dan tamu dipersilakan untuk bergeser ke gerai kedua. Jika perlu sediakan petugas berseragam khusus bermotor untuk menjadi penunjuk jalan bagi tamu seperti ini. inilah cara terbaik menurunkan kepadatan pengunjung gerai resto. Cara demarketing. inilah pelajaran ketiga dari tutupnya Calvados.
&&&
Tidak lama setelah Calvados tutup, lokasi gedung berlokasi di Jalan Kertajaya Indah No. 100 diisi oleh Rumah Makan Padang Sederhana. Resto besutan H. Bustaman ini selalu ramai dipadati pengunjung sejak dibuka sampai saat ini. Saya termasuk pelanggan yang sering ke resto itu untuk bertemu dengan kolega dan relasi.
Coba jika Anda menjadi bos Calvados. Tentu Anda sangat menyesal meninggalkan lokasi pojok Kertajayan Indah 100. Tapi nasi telah menjadi bubur. Itulah biaya yang harus ditanggung oleh salahnya keputusan. Itulah yang disebut sebagai stupidity cost alias biaya kebodohan.
Maka, mari kita ambil tiga pelajaran dari apa yang dialami Calvados yang telah saya uraikan di atas. Jangan sampai ini terjadi pada perusahaan Anda. Mari belajar demarketing sebagai cikal bakal apa yang disebut sebagai revenue and profit driver (RPD).
Artikel ke-433 karya Iman Supriyono ini ditulis SNF Consulting House of Management, Surabaya, pada tanggal 7 Desember 2023
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
infonya karena chef stop/berganti jadi sepi
itu bisa jadi salah satu variabel