Jogja Istimewa: Masjid Yang Hening Syahdu


Selalu ada yang dirindukan dari Jogja. Saya setuju dengan ungkapan ini. Ada banyak alasan. Ada yang rindu dengan Malioboro seperti yang dilukiskan oleh lagu populer KLA Project. Ada yang kangen dengan suasana kampus UGM. Ada yang kangen dengan keramahan penduduknya. Ada yang rindu sate klathak atau gudegnya.  Dan masih banyak lagi. Jogja memang istimewa.

Bagi saya, ada satu hal yang sangat saya rindukan dari Jogja. Sesuatu yang istimewa apalagi bagi saya yang orang Surabaya. Apa itu? Tidak lain adalah masjid-masjid di Jogja. Nyaris masjid mana pun yang saya datangi di Jogja untuk salat lima waktu, suasananya luar biasa: hening, sejuk, khusuk. Syahdu sekali.

Jika datang salat tepat waktu, mendengarkan azan seraya menjawabnya adalah kenikmatan tak ternilai. Setelah itu, antara azan dan iqamah adalah saat yang ditunggu. Saat di mana doa akan dikabulkan. Saat mustajabah. Saat istimewa. Dan di jogja, kita bisa menikmati saat istimewa ini dengan salat sunah dengan suasana hening, khusuk. Tidak ada suara yang memecah keheningan. Baik dari masjid tempat kita berada maupun dari pengeras suara masjid-masjid sekitar.

Semua yang hadir menikmati saat mustajab doa dengan suara lirih tak terdengar orang di sampingnya. Yang sudah selesai salat sunah menunggu iqamah dengan zikir lirih. Ada juga yang membaca Al Qur’an juga secara lirih tanpa terdengar orang yang salat di sampingnya. Hening. Keheningan itu menjadikan salat sunah qobliyah benar-benar terasa sebagai “pemanasan” spiritual untuk menunaikan salat wajib. Sejuk di hati.

Begitu iqamah dilantunkan, salat wajib menjadi puncak ibadah. Imam melantunkan alfatihah dan beberapa ayat Qur’an dengan khusuk. Bertakbir pun demikian. Makmum mengikuti dengan khusuk. Makmum tidak mendahului imam. Makmum bertakbir setelah imam bertakbir. Jika salat di masjid yang besar, jamaah yang banyak menjadi sebuah ritual kolosal yang khusuk. Indah sekali.

Selepas salat wajib, imam dan jamaah berzikir tetap tanpa suara. Khusuk. Tetap hening. Pada saat yang sama suasana ini juga memberi kesempatan kepada jamaah yang datang terlambat alias masbuk. Atau para musafir yang akan menunaikan salat wajib berjamaah secara jamak. Suasananya sama. Mereka bisa salat dengan hening. Tidak ada adu keras antara sura imam salat jamak dengan suara wirid para jamaah lain. Apa lagi bersaing dengan pengeras suara masjid.

Jika Anda muslim dan bertandang ke Jogja, jangan lupa menikmati suasana masjid-masjidnya yang heing nan syahdu. Indah sekali.

Begitu doa selepas salat wajib usai, para jamaah bisa menunaikan salat sunah bakdiyah. Tetap dengan suasana hening. Yang wirid tetap tak bersuara. Salat bakdiyah menjadi sebuah ibadah penutupan selepas salat wajib. Menjadi ibadah perpisahan. Melengkapi salat wajib sebagai  ibadah utama. Tetap dengan suasana hening, khusuk, tawadzuk.

&&&

Pembaca yang baik, itulah kesan mendalam saya tentang Jogja. Sebagai konsultan manajemen yang termasuk sering datang ke kota gudeg untuk kepentingan pertemuan dengan klien, saya begitu merindukan Jogja. Merindukan masjid yang hening nan syahdu. Salat lima waktu di masjid benar-benar menjadi sarana reload untuk aktivitas bisnis berikutnya. Jogja memang istimewa. Anda merasakan?

Artikel ke-428 karya Iman Supriyono ini ditulis pada tanggal 30 Oktober 2023 di kabin pesawat Boeing 737-800 yang dioperasikan oleh Garuda Indonesia dalam penerbangan dari Jakarta  menuju Jogja. Artikel diunggah selepas subuh syahdu di masjid Nurul Huda, Sosrowijayan Wetan yang berposisi di belakang Hotel Unisi milik UII Jogja, tempat penulis menginap.

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Tinggalkan komentar