Seorang kawan trader saham pernah berkata. Dunia trader saham adalah dunia penuh penyesalan. Membeli saham lalu harganya turun menyesal mengapa membelinya. Membeli saham lalu harganya naik menyesal mengapa tidak membeli lebih banyak. Menjual saham lalu harganya naik menyesal mengapa telah menjual dengan tergesa-gesa. Menjual saham lalu harganya turun menyesal mengapa tidak menjual lebih banyak. Dunia penuh penyesalan. Itulah dunia. Itulah dunia saham.
Seorang kawan yang ikut kelas korporatisasi saat perusahaan yang didirikannya sedang menjalan proses IPO menyesal. Menyesal karena telah menjalankan proses IPO sebelum ikut kelas korporatisasi. Menjalankan Ipo sebelum memahami ilmunya secara clear. Akibatnya IPO dilakukan dalam kondisi yang sebenarnya belum siap. Bahkan dilakukan saat kondisi masih membahayakan. Terlalu boros dilusi sehingga IPO telah menyebabkan dirinya kehilangan posisi sebagai pemegang saham pengendali. Dan akhirnya harga saham perusahaan yang didirikannya benar-benar jatuh sejatuh-jatuhnya. Dan bukan hanya itu. ia telah menjual seluruh sahamnya kepada investor yang membantu IPO dengan harga yang buruk. Lengkap sudah penyesalannya.
Kawan yang lain lagi seorang manajer perusahaan ternama menyesal karena telah berinvestasi pada tempat yang salah. Uang yang dikumpulkannya dari gaji sebagai profesional hilang. Menyesal karena kegagalan memilih investee yang berkualitas.
Pertanyaannya, bagaimana meminimalkan penyesalan seperti itu? jawabannya adalah dengan cara jangan menunda-nunda belajar ilmu. Bukan ilmu sembarang ilmu. Tapi ilmu tentang apa yang akan dilakukan. Tegasnya, jangan melakukan sesuatu terkait aset tanpa ilmu yang cukup. Jangan menunda-nunda belajar ilmu tentang aset.
&&&
Tapi kali ini saya tidak akan menulis tentang penyesalan seperti itu. Melainkan penyesalan terkait dengan kehidupan yang lebih berjangka panjang. Kehidupan setelah kematian. Jadi mohon maaf, tulisan saya ini hanya saya peruntukkan khusus bagi Anda yang percaya akan adanya kehidupan setelah kematian.
Nah, jika Anda termasuk orang seperti itu, maka saya sampaikan ilmu sangat penting tentang penyesalan pemilik aset dalam dimensi yang lebih panjang. Karena tidak ada satu pun dari Anda pembaca yang telah mengalami kehidupan setelah kematian. Saya pun demikian. Maka, tentu saja kita harus mengambil ilmunya dari Sang Pemilik kehidupan setelah kematian.
“Dan dermakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu, lalu dia berkata, “Ya Tuhanku, sekiranya engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang baik”. Ini adalah terjemahan surat ke-63 Al Quran ayat ke 10. Isinya dalah pelajaran tentang penyesalan tiada tara bagi para memilik aset.
Jadi, berdasarkan informasi A1 dari Sang Penguasa kehidupan setelah kematian tersebut, satu hal super penting yang akan disesali orang yang telah mati adalah tentang aset. Bukan tentang puasa. Bukan tentang salat. Bukan tentang berbakti kepada orang tua. Bukan tentang ketaatan kepada pemimipin. Bukan tentang berbuat baik kepada tetangga. Bukan itu semua. Tapi penyesalan tentang aset.
Jika diurai, penyesalan itu terdiri dari tiga jenis. Penyesalan pertama adalah berupa menyesal karena sama sekali tidak membelanjakan asetnya untuk berderma (berinfak dalam diksi yang mengadopsi bahasa arab). Seluruh asetnya hanya untuk kepentingan pribadi atau keluarganya. Tidak ada sedikitpun yang didermakan untuk kepentingan orang-orang lain yang membutuhkan. Atau untuk kepentingan umum yang lebih luas.
Penyesalan kedua adalah mengapa sebelum mati nilai tidak berderma lebih banyak lagi. Jadi sebenarnya saat masih hidup sudah berderma. Tapi saat mati harta yang belum didermakan masih terlalu banyak. Dan yang bersangkutan menyesal karena merasakan bahwa derma itu yang bisa dinikmatinya pada kehidupan setelah kematian.
Kalau begitu, mengapa tidak mendermakan seluruh asetnya? Orang tidak pernah tahu kapan akan mati. Sedangkan orang yang masih hidup butuh aset untuk memenuhi kebutuhan keseharian. Apalagi kalau sakit dan lemah. Pelajarannya bisa diambil dari sebuah hadits tentang wasiat. Wasiat adalah pesan seseorang untuk dilaksanakan setelah yang bersangkutan mati. Dalam hal ini yang dimaksud adalah wasiat tentang aset. Sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir tentang anjuran agar seseorang kita tidak meninggalkan anak-anak yang lemah, orang tidak boleh membuat surat wasiat untuk memberikan seluruh aset yang ditinggalkannya kepada orang lain (di luar ahli waris). Yang diizinkan maksimum hanya sepertiga dari total aset. Artinya, mendermakan seluruh harta juga bukan solusi. Tetap ada proporsi aset yang tidak didermakan untuk dinikmati atau dimanfaatkan sendiri selama hidup atau untuk dinikmati ahli waris setelah mati.
Penyesalan kedua ini juga bisa terjadi karena orang tidak bisa hidup sederhana. Tidak bisa hidup hemat. Hemat artinya adalah mendapatkan manfaat yang sama dengan membelanjakan uang lebih sedikit. Dengan berhemat orang bisa mendermakan harta lebih banyak. Sebagai gambaran, di era mobil listrik ini kepentingan berhemat ini dipenuhi oleh pabrikan mobil listrik dari Cina. Orang bisa membelanjakan uang jauh lebih sedikit untuk mendapatkan manfaat yang sama yaitu mengendari mobil listrik. Bandingkan dengan mobil sejenis dari pabrikan USA misalnya. Hasil penghematan digunakan untuk berderma.

Penyesalan ketiga adalah penyesalan tingkat tertinggi. Orang tidak menyesal jenis pertama ataupun kedua. Dia sudah maksimal dalam memutuskan proporsi aset yang didermakannya. Tapi dia menyesal mengapa aset yang didermakannya tidak dialokasikan untuk sesuatu yang manfaatnya berlangsung terus menerus sampai kiamat. Menyesal mengapa tidak berderma berupa endowment fund atau dalam terminologi Islam disebut wakaf. Sebuah derma yang mana aset yang didermakan tidak boleh dikonsumsi. Tidak boleh dikurangi. Hanya boleh diinvestasikan. Hasil investasi itulah yang kemudian dimanfaatkan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan atau untuk kepentingan umum. Maka manfaat aset derma itu akan terus dinikmati oleh orang-orang yang membutuhkan sampai hari hancurnya dunia seisinya ini. Dan tentu saja pendermanya (disebut wakif dalam terminologi Islam) akan menikmatinya secara terus menerus tanpa putus pada kehidupan setelah kematian. Pada kehidupan abadi.
&&&
Pembaca yang baik, mari belajar dari para pemilik aset yang menyesal. Pelajari ilmunya sampai terang benderang. Sampai clear. Sampai tidak ada keraguan sedikitpun. Lalu buatlah keputusan yang tepat terhadap aset yang Anda miliki. Tentukan proporsi derma yang tepat. Agar kelak tidak menyesal. Baik penyesalan yang terjadi pada kehidupan sebelum mati. Terlebih penyesalan pada kehidupan setelah mati. Penyesalan dalam kehidupan abadi. Saatnya merenung….. . Saatnya bertindak.
Artikel ke-463 karya Iman Supriyono ditulis di Surabaya pada tanggal 18 Agustus 2024
Baca juga:
Peredam Risiko Investasi Wakaf
Wakaf Modern Untuk Keabadian Amal dan Kemerdekaan Ekonomi
Konversi Kotak Infaq ke Kotak Wakaf
Kesalahan Wakaf Saham Dan Perbaikannya
Wakaf Untuk Beasiswa: Fulbright Dari Timur
Wakaf Moncer dengan Puasa Infaq
Wakaf Para Alumni untuk Adik Kelasnya
Wakaf Agar Rp 10 Triliun Tidak Melayang Tiap Tahun
Wakaf Uang
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal
Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Ping-balik: Wakaf ACR: Fulbright Dari Timur | Korporatisasi
Ping-balik: Wakaf Korporat: Model Bisnis Sociopreneur | Korporatisasi
Ping-balik: RPD: Peredam Risiko Investasi – Wakaf | Korporatisasi
Ping-balik: Wakaf ACR: Sahabat Sekolah Sahabat Surga | Korporatisasi
Ping-balik: ACR x Hayyu: RUPS & Dividen Pertama | Korporatisasi
Ping-balik: MIT: Guru Dibayari Murid? | Korporatisasi
Ping-balik: Harvard University Versus Presiden Trump | Korporatisasi
Ping-balik: Yayasan Paripurna: Siklus Hidup | Korporatisasi