Entrepreneur, Jangan Membuat Bisnis Lagi!


Mungkin Anda pernah mendengar nasihat ini: Tugas entrepreneur adalah membuat bisnis baru. Disampaikan dengan penuh semangat. Khas anak muda. Dengan heroisme berhias nasionalisme. Berhias semangat keumatan. Anda pernah mendengar?

Nah, kali ini mari kita kupas nasihat itu dengan data. Tentu saja data korporasi. Mari kita bandingkan dua perusahaan. Alat ukurnya kita ambil dari 4 besaran yang biasa digunakan untuk membandingkan perusahaan di berbagai negara. Laba, omzet, aset dan nilai pasar. Empat besaran itulah yang tiap tahun digunakan oleh Forbes untuk membandingkan perusahaan tanpa melihat apa pun industrinya. Dua ribu perusahaan dengan skor laba, omzet, aset dan nilai pasar tertinggi tiap tahun ditampilkan sebagai Forbes 2000. Dengan kata lain, kalau kita berbicara dari 4 besaran itu, perbedaan industri sudah tidak penting. Semua perusahaan dipandang sama. Anda dapat membaca link ini untuk mengetahuinya lebih lanjut. Dari 4 besaran itu kita pilih satu yang bisa disebut merangkum dari 3 variabel yang lain yaitu nilai pasar.

Nah atas dasar itu saya ambil dua perusahaan. Satu perusahaan yang menganut nasihat di atas. Dalam kerangka corporate life cycle, perusahaan ini disebut sebagai multiple RPD (revenue and profit driver). Perusahaan yang berbisnis bermacam-macam pada berbagai industri. Selesai membuat bisnis A dilanjut B, lanjut C, lanjut D…. dan seterusnya.

Siapa perusahaan yang seperti itu? Mari kita gunakan PT Japfa Comfeed Indonesia. Berikut ini Sejarah Japfa yang saya kutip dari laman resmi Bursa Efek Indonesia:

PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk didirikan pada 18 Januari 1971 sebagai sebuah perusahaan yang memproduksi pelet kopra dengan nama PT Java Pelletizing Factory (Japfa). Seiring berjalannya waktu, JPFA terus berkembang dan berekspansi ke berbagai sektor bisnis, seperti pakan ternak dan pembibitan ayam.

Japfa menjadi pemegang hak eksklusif untuk menjual serta mendistribusikan bibit ayam galur Indian River dari Aviagen. Perjalanan Japfa dalam dunia saham dimulai ketika perusahaan tersebut melakukan Initial Public Offering (IPO) atau Penawaran Saham Perdana dengan kode emiten JPFA pada 23 Oktober 1989.

Sukses melantai di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya, perusahaan ini lalu mengambil alih beberapa aset perusahaan, seperti PT Comfeed Indonesia, PT Suri Tani Pemuka, PT Ometraco Satwafeed, dan PT Indopell Raya pada 1990. Proses ekspansi tersebut terus berlangsung hingga pada 1992, Japfa mengakuisisi PT Multibreeder Adirama Indonesia dan PT Ciomas Adisatwa yang bergerak di bidang pembibitan dan pemrosesan ayam, dan juga PT Suri Tani Pemuka yang bergerak di bidang budidaya dan pemrosesan udang

Sejarah tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa Japfa adalah sebuah perusahaan multiple RPD. Memang antara RPD satu dengan lainnya masih terkait. Tetapi tetap berbeda-beda. Sebagaimana di laman resmi perusahaan, bisnisnya bisa dikelompokkan menjadi 3 bidang yaitu poultry, aquaculture dan beef cuttle. Poultry terdiri dari pakan ternak ayam,  DOC ayam broiler/layer dan pullets, consumer and technical services, pencegahan penyakit, perlengkapan peternakan, ayam broiler komersial dan produk karkas ayam. Kelompok aquaculture terdiri dari aqua feed, breeding, consumer and technical services, tilapia, eel, dan seafood. Kelompok beef dan cattle terdiri dari penggemukan sapi, rumah potong, dan daging sapi.

Mari kita lihat kinerjanya. Data nilai pasar yang masih ditampilkan oleh Google paling awal adalah tahun 2005. Nilai pasar per lembar saham adalah Rp 43. Hari ini nilai pasar per lembar saham adalah Rp 1 295. Artinya, dalam rentang waktu 18 tahun rata-rata pertumbuhan yang diukur dengan metode CAGR (compounded annual growth rate) adalah 20,82%. Artinya, misalkan Anda menjadi investor (pemegang saham) Japfa tahun 2005 dengan nilai investasi Rp 100 juta, tahun 2006 akan tumbuh nilainya sebesar 20,82%  menjadi 120,82 juta. Tahun berikutnya akan tumbuh lagi 20,82% menjadi Rp 145,97 dan seterusnya. Tiap tahun tumbuh 20,82%. Dengan pertumbuhan tiap tahun seperti itu maka nilai investasi Anda tahun 2023 ini adalah Rp 3,64 miliar.

Bagus atau tidak pertumbuhan seperti itu? Mari kita lihat perusahaan pembandingnya. Kita pilih perusahaan yang bisnisnya satu bidang alias single RPD. Perusahaan yang tidak menganut nasihat para motivator di atas. Perusahaan yang tidak pernah membuat bisnis lagi setelah mendirikan satu bisnis. Kita pilih PT Sumber Alfaria Trijaya. Bisnisnya adalah membuat gerai-gerai minimarket dengan merek Alfamart, Alfamidi dan Alfa Express. Gerai pertama didirikan tahun 1999 hingga hari ini kerjanya terus menerus mendirikan gerai.

Data nilai pasar yang masih tersedia di Google terlama adalah tahun 2009 dengan nilai Rp 40 per lembar saham. Hari ini nilainya adalah Rp 2780. Dengan demikian selama 14 tahun terakhir diukur dengan CAGR perusahaan ini tumbuh rata-rata 35,38%. Sebagai gambaran jika Anda menjadi investor perusahaan ini pada tahun 2009 dengan uang Rp 100 juta, tahun 2010 nilai investasi Anda naik 35,38% menjadi Rp 135,38 juta. Tahun berikutnya naik lagi 35,38% menjadi Rp 183,28 juta. Jika ini diteruskan dengan pertumbuhan tahunan yang sama maka tahun 2023 ini nilai investasi Anda menjadi Rp 9,40 miliar.

&&&

Pembaca yang baik, jelas perbedaan kinerja pertumbuhan dua perusahaan itu. Japfa yang multiple RPD kalah jauh pertumbuhannya dibanding Alfamart yang single RPD. Investor akan merasakan bedanya. Demikian juga pendiri kedua perusahaan. Itulah mengapa Djoko Susanto, pendiri Alfamart,  menjadi orang terkaya ke-10 menurut Forbes tahun ini. Sementara mendiang Handojo Santosa atau ahli warisnya jauh tertinggal.

Sebagai entrepreneur pendiri perusahaan, Joko melalui PT Sigmantara Alfindo memegang sekitar 53% alias sekitar 22 miliar lembar saham Alfamart. Dengan nilai pasar Rp 2780 maka hari ini nilai aset Djoko adalah Rp 61,1 triliun. Sementara itu sebagai entreperenur pendiri perusahaan keluarga Handojo melalui Japfa LTD memegang 55% saham Japfa dengan nilai aset hari ini Rp 8,3 triliun.

Nah, dari dua contoh tersebut, sudah saatnya Anda para entrepreneur memperbaiki cara pandang. Memperbaiki mindset. Tugas seorang entrepreneur bukanlah terus membuka bisnis baru. Tapi mendirikan satu bisnis dan terus mengembangkannya menapaki 8 langkah dalam corporate life cycle untuk menjadi korporasi sejati yang bernilai tinggi. Ingat bahwa bisnis itu adalah tentang menciptakan nilai. Creating value. Ukuran teknisnya adalah market value atau nilai pasar atau yang secara singkat disebut value alias nilai. Anda siap?

Artikel ke-411 karya Iman Supriyono ini ditulis di Surabaya pada tanggal 9 Agustus 2023

Diskusi lebih lanjut? Silakan bergabung Grup Telegram  atau Grup WA KORPORATISASI atau hadiri KELAS KORPORATISASI
Anda memahami korporasi? Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi

Baca Juga:

Baca juga:

Merger dan Akusisi: Mengapa Ekonomi Kita Dikuasai Asing
Merger Gojek Tokopedia
Valuasi dan Merger Tokopedia
Merger dan Akusisi BUMN
Filosofi Merger Akuisisi
Akuisisi Super Mahal Holcim oleh Semen Indonesia
Sejarah Raket Yonex
Sejarah Heinekken Hadir di Indonesia
Sejarah Revlon dan Kepailitannya
Sejarah Korporasi
Sejarah Lions Club
Sejarah Hyundai versus Astra
Enam Pilar Kemerdekaan Ekonomi Umat dan Bangsa
Korporatisasi: Asal Muasal
Sejarah Danone Dari Turki Usmani Hadir ke Indonesia

6 responses to “Entrepreneur, Jangan Membuat Bisnis Lagi!

  1. jika yang dicompare dengan BCA atau Astra dengan beragam konglomerasinya apakah masih relavan dengan judul ini?

  2. ok terima kasih infonya

  3. Mantap ulasanya menjadi insight saya pak

Tinggalkan komentar