Prajurit dua, prajurit satu, prajurit kepala, kopral dua, kopral satu, kopral kepala, sersan dua, sersan satu, sersan kepala, sersan mayor, pembantu letnan dua, pembantu letnan satu, letnan dua, letnan satu, kapten, mayor, letnan kolonel, kolonel, brigadir jenderal, mayor jenderal, letnan jenderal, jenderal, jenderal besar. Total ada 23 tingkatan pangkat. Atau 22 jika jenderal besar yang merupakan pangkat kehormatan tidak dihitung. Inilah jenjang kepangkatan TNI.

Jenderal adalah orang yang paling paham tentang ketentaraan. Paham dengan baik masalah-masalah internal ketentaraan. Paham juga hubungan ketentaraan dengan pihak-pihak luar. Pendek kata jenderal adalah orang yang paling top tentang ketentaraan. Sebaliknya prajurit dua, prada, adalah orang yang memiliki ketrampilan, keahlian dan pemahaman paling dasar tentang ketentaraan. Jika diberi skor antara 1-100, seorang jenderal skornya 100, prajurit dua mungkin sekitar 5. Jauh sekali gap nya.
Dengan gambaran skor di atas, gap skor antara jenderal dengan prada adalah 95. Yang menarik, antara prada dengan jenderal ada 20 jenjang kepangkatan. Maka akan sulit bahkan mustahil jika seorang prada harus menggantikan peran seorang jenderal. Itulah masalah yang akan terselesaikan dengan adanya 20 jenjang kepangkatan antara jenderal dan prada. Dengan demikian, gap skor 95 itu terbagi 20 sehingga gap rata-ratanya menjadi sekitar 5. Dengan demikian, mudah sekali seorang prada menggantikan posisi prajurit satu alias pratu jika sewaktu-waktu meninggal, dimutasi atau pensiun. Jika seorang jenderal pensiun atau meninggal, mudah sekali mencari penggantinya dari para letnan jenderal. Gap kemampuan antara letnan jenderal dengan jenderal adalah sekitar 5. Pergantian bisa dilakukan secara mulus. Tidak diperlukan pihak dari luar untuk menggantikan posisi seorang jenderal yang pensiun atau meninggal.
$$$
Jika TNI punya jenjang kepangkatan, maka perusahaan punya tingkatan jabatan. Jika jenderal adalah posisi tertinggi di TNI, maka direktur utama atau CEO adalah posisi tertinggi di perusahaan. Direktur utama alias dirut sangat memahami seluk beluk perusahaan yang dipimpinnya baik secara internal maupun eksternal. Sama dengan jenderal, dirut juga memiliki skor tertinggi di perusahaan yang dipimpinnya. Skor 100 seperti jenderal.
Sebaliknya, seorang pelayan toko pada sebuah perusahaan ritel misalnya menduduki posisi terendah dalam hierarki perusahaan. Dia hanya memahami tugas kesehariannya. Tidak faham perusahaan secara keseluruhan. Sama seperti seorang prada di TNI. Dalam rentang 1-100 skornya hanya sekitar 5. Ada gap 95 dengan dirut. Dia tidak bisa menggantikan posisi seorang dirut. Artinya, jika tidak ada tingkatan jabatan lain antara penjaga toko dengan dirut, maka jika dirut pensiun atau meninggal, perusahaan akan kacau dan terancam tutup. Padahal si dirut pastilah suatu saat akan pensiun atau meninggal. Itulah jawaban mengapa sebuah perusahaan sering bangkrut dan tutup ketika pendiri yang juga sebagai dirut meninggal.

Bagaimana agar perusahaan tetap stabil saat dirut atau CEO nya meninggal atau pensiun? Caranya bisa belajar dari TNI. Gap antara level jabatan harus direduksi. Caranya adalah dengan menambah level jabatan di antara posisi terendah dengan posisi tertinggi. Total 20 jabatan antara prada dan jenderal dalam sistem kepangkatan TNI adalah sesuatu yang ideal. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di hampir seluruh negara di dunia memiliki level seperti ini.
Bagaimana membuat level sebanyak itu? Tentu dengan terus-menerus menambah jumlah karyawan. Agar terbentuk piramida yang baik. Tinggi dan lebar demang memastikan setiap posisi telah memegang anak buah maksimal sesuai kapasitas span of control mereka. Bukan hanya tinggi. Tentu tidak bisa dilakukan tanpa menambah omzet. Untuk perusahaan ritel pada contoh diatas haruslah menambah jumlah gerai. Dan gerai tersebut omzetnya harus cukup besar. Agar menghasilkan laba. Setiap satu toko butuh kepala toko sebagai sebuah level baru. Setiap 20 kepala toko misalnya dikoordinasikan oleh seorang kepala area. Setiap 5 kepala area misalnya dikoordinasikan oleh seorang kepala regional dan seterusnya. Suatu saat akan terbentuk piramid struktur organisasi seperti TNI. Pada saat itulah perusahaan akan stabil. Siapapun yang pensiun pada posisi mana pun sudah banyak anak buah langsungnya yang siap menggantikan. Tanpa gejolak apapun. Termasuk ketika seorang dirut pensiun. Tidak diperlukan dirut cabutan dari perusahaan lain. Demikian juga untuk jabatan komisaris. Itulah sistem manajemen. Perusahaan yang kokoh.
Ada satu lagi syarat mutlak berjalannya sistem manajemen: tidak adanya pemegang saham pengendali. Mengapa syarat mutlak? Jika masih ada pemegang saham pengendali, si pemegang saham pengendali akan memiliki otoritas mutlak. Kata-katanya menjadi undang undang. Kata-katanya adalah sabda pandhita ratu. Jika ini terjadi, piramida manajemen tidak berjalan pada posisi tertinggi. Dirut tidak dipilih dari karyawan level tertinggi dengan kinerja terbaik. Tapi dipilih suka-suka si pemegang saham pengendali. Untuk menghindarinya, perusahaan mesti berproses membesar menuju tidak adanya pemegang saham pengendali sebagai tahap ke-8 dalam corporate life cycle. Menjadi korporasi sejati. Bagaimana perusahaan Anda?
Klik untuk bergabung Grup Telegram atau Grup WA KORPORATISASI Atau ikuti KELAS KORPORASITASI
Klik untuk uji kelayakan Anda sebagai insan korporasi
Baca Juga
Corporate Life Cycle
Corporate Life Cycle dalam Merger GoTo
Valuasi Merger Gojek Tokopedia
Sequoia VC Sejati
*)Artikel ke-235 ini ditulis di Surabaya oleh Iman Supriyono. Artikel ini juga dimuat di Majalah Matan, terbit di Surabaya, edisi Nopember 2019.
Yes. Just like what you said
thank you for apreciation
Terimakasih idenya pak
Terimakasih kembali
Leveling jabatan bisnis yang beragam akan menunjukkan seberapa besar perusahaan bisnis dimaksud.
Keberagaman level yang sedikit menunjukkan kecilnya perusahaan. Semakin banyak ragamnya akan semakin besar perusahaan.
Selanjutnya siapa yang menyusun keragaman dimaksud. Karena selama ini tergantung pada perusahaan masing².
Apakah hal ini diperlukan regulasi oleh pemerintah atau diatur oleh organisasi profesI bisnis itu sendiri.
perusahaan menyusun leveling jabatan sesuai dengan kondisinya. tulisan ini mengambarkan bahwa level jabatang yang banyak mengandung manfaat dalam hal kaderisasi
mencerahkan pak Iman
Moga bermanfaat
Memangnya perusahaan mu sendiri sudah ada berapa level jabatan? Ngacaaa ngacaaaa sana. Dasar munafik, cuman hobi berwacana gak sanggup melaksanakan.
sori saya tidak akan mengapi komentar yang sifatnya penilaian terhadapa pribadi saya. Silakan menilai apa saja itu sepenuhnya hak Anda.
Ping-balik: Ahok dan Kemustahilan Pertamina | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Jangan Membaca: Nasihat Paradoks Dahlan Iskan | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: GIAA Vs SQ : Jonan atau Arif Wibowo untuk CEO? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Perusahaan Berkemajuan: Toyota | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Jiwasraya-Prudential Si Kakak-Adik Beda Nasib: Masalah Stratejik atau Fraud? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi: Fokus | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Dilusi Itu Nikmat: Cleo | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Endowment Fund Alumni: Peran Besar | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Jean Paul Agon: Kultur Perusahaan Kelas Dunia | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Sendyakala BUMN: Dierencankan atau Pasrah? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Wakaf Modern Untuk Keabadian Amal dan Kemerdekaan Ekonomi | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Pajak: Dikejar Petugas atau Beramal? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Ironi Buy Back OJK: Dekorporatisasi | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Corona & Dekorporatisasi BUMN oleh Erick Thohir | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Efek Bisnis Coronaa dan Analogi Nilai Rata-Rata Kelas | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Korporatisasi Terpaksa: Agung Podomoro | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: ROE & ROI: Bayi Melawan Raksasa | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Saham Pendiri Non Dilutif, Mungkinkah? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Waralaba atau Korporatisasi? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Perusahaan Dakwah | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: SunRice: Korporasi Beras dari Negeri Gandum | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Corporate Life Cycle | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Wardah, Dahlan Iskan & Konsolidasi Kosmetik Nasional | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Kesalahan Wakaf Saham: Bagaimana Perbaikannya? | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Titik Kritis Korporatisasi: Alfamart | Catatan Iman Supriyono
Ping-balik: Corporate Life Cycle – SNF Consulting
Ping-balik: Korporatisasi Langkah Demi Langkah – SNF Consulting
Ping-balik: Korporatisasi Terpaksa: Agung Podomoro – SNF Consulting
Ping-balik: Efek Bisnis Corona dan Analogi Nilai Rata-Rata Kelas – SNF Consulting
Ping-balik: Dilusi Itu Nikmat: Cleo – SNF Consulting
Ping-balik: GIAA Vs. SQ : Jonan atau Arif Wibowo untuk CEO? – SNF Consulting
Ping-balik: Wakaf Modern: Keabadian Amal & Kemerdekaan Ekonomi – SNF Consulting
Ping-balik: Jean Paul Agon: CEO & Kultur Perusahaan Kelas Dunia – SNF Consulting
Ping-balik: Korporatisasi Perusahaan Keluarga | Korporatisasi
Ping-balik: Tesla: Laba Setelah 16 Tahun Rugi | Korporatisasi
Ping-balik: Giant Tutup: Sulitanya Menemukan Kembali RPD | Korporatisasi
Ping-balik: BTS Meal McD: Tantangan Langkah Kedelapan CLC | Korporatisasi
Tulisan bagus, informatif.
Maaf Semoga berikutnya format penulisan bisa lebih baik, jd tdk bosan bacanya & kronologis.
Ping-balik: Menjadi Korporasi Sejati | Korporatisasi
Ping-balik: Si Tukang Bakso Triliuner | Korporatisasi
Ping-balik: Isu-isu Stratejik IPO RAFI: Layak Belikah? | Korporatisasi